Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Sabtu, 18 Mei 2013

Hijaratus Sijjil; Hadiahkan Kemenangan Ganda Bagi Bangsa Palestina

izzudin_alqassam
Oleh: Muhammad Syarief, Lc.
Delapan hari sejak tanggal 14 November 2012, penduduk dunia kembali dipaksa untuk melihat drama pembantaian terhadap penduduk Palestina di Jalur Gaza. Untuk kedua kalinya Zionis “Israel” melancarkan agresi militernya paska pemberlakukan blokade zalim ke wilayah berpenduduk 1,7 juta jiwa itu. Semenjak tahun 2007 hingga sekarang, Jalur Gaza praktis menjadi “penjara” terbesar di dunia.
Belum sembuh luka akibat perang “Furqan” di penghujung 2008 lalu, penghuni Jalur Gaza harus melanjutkan pertempuran sucinya mempertahankan hak hidup di atas tanah kelahiran. Perang 8 hari yang terjadi sejak tanggal 14-21 November 2012 itu diberi nama perang “Hijaratus Sijjil”. Istilah hujan dengan batu neraka ini digunakan oleh para pejuang Palestina sebagai sebutan terhadap roket-roket mereka yang mampu mengoyak langit dari wilayah yang diduduki Zionisi “Israel”, bahkan mampu menembus jantung ibukota mereka di Tel Aviv.
Pertempuran Hijjaratus Sijjil
Ahmad Alja’bari, seorang komandan dari sayap militer Hamas, Izzudin Al-Qassam merupakan tokoh Hamas yang berada di urutan pertama DPO Zionis penjajah. Alja’bari ditenggarai sebagai otak dibalik tertangkapnya tawanan tentara Zionis, Gilad Shalith yang ditukar dengan seribu lebih tawanan Palestina. Ia juga  dikenal sebagai komandan di belakang layar yang berperan mengatur pertempuran 22 hari di Gaza pada penghujung 2008 lalu.
Syahidnya Alja’bari oleh rudal pesawat tempur Zionis “Israel” pada hari Rabu (14/11/2012) merupakan keputusan dari sebuah Komite Khusus di Kementerian Keamanan Zionis, yang menjadi pemicu meletusnya perang baru secara massif antara pejuang Palestina di Jalur Gaza dengan Zionis. Selama 8 hari perang berlangsung tercatat, 177 orang Palestina syahid dan lebih dari 1000 orang lainnya luka-luka, sebagian besar mereka adalah anak-anak, wanita dan lansia. (islamtoday.net)
Zionis “Israel” mendeklarasikan agresi militernya ke Jalur Gaza dengan tiga alasan; pertama, menghentikan tembakan roket-roket pejuang Palestina dari Jalur Gaza, kedua, mengunci ruang gerak pejuang perlawanan di Jalur Gaza, Ketiga, mengembalikan kewibawaan tentara Zionis “Israel” sebagai pasukan tempur yang tak terkalahkan.
Namun dalam prakteknya di lapangan, serangan ini lebih kental terhadap kepentingan dari PM. Zionis, Benyamin Netanyahu. Pada bulan Januari 2013 nanti, Zionis “Israel” akan menggelar pemilu. Netanyahu menginginkan perang ini ia menangkan dan dukungan penuh warga Zionis terkhusus para Yahudi Ortodoks menjadi penyumbang suara terbesar untuk dirinya. Hal serupa yang juga terjadi dalam perang Furqan 2008, dimana PM. Zionis,  Ehud Olmert pada saat itu tengah bersiap menghadapi pemilu yang tinggal 3 bulan.
Selama menjabat pemerintahan Netanyahu memang dikenal bobrok hampir dalam segala bidang. Krisis ekonomi terjadi, para pejabatnya banyak terlibat skandal korupsi dan tindakan asusila. Perang ini ditargetkan Netanyahu dapat menutup semua catatan merah dirinya selama menjabat. Namun diluardugaan, Zionis justru kewalah mengahadapi serangan balasan dari para pejuang Palestina di Jalur Gaza.
Seorang analis di situs berbahasa Arab, Aljazeera, Abdurrahman Alfarhanah mengatakan, pertama,  agresi ini dilancarkan untuk menguji kekuatan senjata baru yang dimiliki Zionis “Israel”, diantaranya adalah Iron Dom; sebuah senjata anti rudal yang setelah diuji dalam perang tersebut ternyata masih jauh dari harapan mereka. Kedua, Zionis ingin melihat reaksi dari kawasan Arab yang terlibat lahir dari rahim Arab Spring, terutama tetangga Jalur Gaza, Mesir.
Sedangkan bagi pejuang Palestina di Jalur Gaza yang dipimpin oleh sayap militer Hamas, perang ini menjadi kesempatan untuk menyebarkan ancaman baru yang menggentarkan, bukan saja bagi tentara Zionis “Israel” namun juga seluruh warga mereka yang menduduki tanah-tanah Palestina. Dalam perang 2008 lalu, roket yang dimilik pejuang Palestina hanya berjarak tempuh 15-17 km saja. Namun dalam perang kali ini, pejuang Palestina mampu menembakkan roket dengan jarak tempuh 75-80 km.
Tel Aviv dan Jerusalem (Al-Quds terjajah) merupakan kota yang menjadi sasaran roket-roket pejuang Palestina. Selain roket Fajar-5 dari Iran dan roket laser Kornet milik Rusia, pejuang Palestina sendiri mampu membuat roket lokal yang kemampuannya tak kalah dengan roket buatan luar tersebut. Tak bisa dielakkan lagi rasa cemas menghantui setiap warga “Israel”. 3,5 juta penduduknya lebih memilih meninggalkan rumah dan tinggal di kamp pengungsian ketimbang mati di bawah hujanan “batu neraka” pejuang Palestina.
Gencarnya serangan pejuang Palestina yang mampu menghantam lokasi strategis di “Israel” seperti gedung parlemen Knesset di Tel Aviv dan pemukiman Zionis di Al-Quds, membuat posisi pejuang Palestina terlihat imbang. Bahkan Hamas memiliki pesawat tanpa awak, yang ditegaskan oleh wakil Kepala Biro Politik Hamas, Musa Abu Marzuq sebagai buah karya dari Brigade Izzudin Al-Qassam.
Sehingga wajar apabila di hari ketiga dari perang ini, Zionis kewalahan dan berupaya untuk mengakhirinya. Satuan Intelijen Kementerian Keamanan Zionis “Israel” mengeluarkan keputusan, bahwa apabila perang darat memang dinilai tak bisa dilakukan karena hanya akan menguras keuangan pemerintah dan menghambat jalannya pelaksanaan pemilu mendatang, maka perang sudah seharusnya diakhiri.
Dari perang ini Zionis juga mencoba melihat peta politik di kawasan. Mesir Baru dibawah kepemimpinan Muhammad Mursi ternyata bergerak tidak seperti yang diharapkan “Israel”. Mesir yang masih memiliki ketergantungan ekonomi dari Amerika di satu sisi, dan kepentingan membebaskan Palestina di sisi yang lain, ternyata menjadi dua hal yang dapat dikelola dengan baik oleh Mursi. Presiden yang merupakan kader terbaik dari sayap politik Al-Ikhwan Al-Muslimun Mesir, FJP ini mampu berdialog dengan Amerika dan memediasikan gencatan senjata Hamas-Zionis “Israel”.
“Israel” juga melihat adanya kekuatan baru di kawasan, diantaranya peranan Turki dan Qatar, yang bersama Mesir mencoba menghadirkan solusi bersama untuk mengakhiri agresi militer Zionis ke Jalur Gaza. Liga Arab saat ini pun sudah berubah, Sekjend Liga Arab, Al’arabiy asal Mesir ini berbeda jauh dengan para pendahulunya. ‘Arabi mengatakan bahwa permasalahan Palestina selamanya akan menjadi permasalahan utama bagi bangsa Arab. Ia pun dan beberapa Menlu Arab dan Turki masuk ke Jalur Gaza, sehari sebelum gencatan senjata disepakati. (safa.ps, 20/11/2012)
Kemenangan Pertama
Rabu (21/11), mediasi yang dilakukan oleh Mesir berhasil sukses. Gencatan senjata bersyarat dari Hamas disepakati oleh Zionis “Israel”. Menlu Mesir, Muhammad Kamil Amru mengumumkan kesepakatan gencatan senjata antara pejuang Palestina, Hamas dan Zionis “Israel” dimulai sejak pukul 21.00 waktu Kairo dan Gaza.
Point kesepakatan yang disetujui keduabelah pihak itu berisikan, pertama, “Israel” harus menghentikan agresi militernya ke Jalur Gaza baik dari darat, laut maupun udara. Begitupula sebaliknya, pejuang Palestina juga akan menghentikan serangan roketnya ke arah wilayah terjajah yang diduduki oleh Zionis “Israel”. Kedua, berbagai pintu penyeberangan dibuka untuk Gaza dan diberikan keleluasaan seluas-luasnya untuk keluar masuk orang maupun barang-barang. Ketiga, Tidak ada lagi pengekangan terhadap ruang gerak penduduk Gaza dan ini diberlakukan 24 jam setelah kesepakatan. (Islamtoday.net, 21/11/2012)
Kesepakatan ini juga dilengkapi dengan adanya jaminan dari pihak Mesir untuk menjaga komitmen kesepakan ini dari keduabelah pihak. Ketika ditemukan hal-hal yang dianggap janggal maka dikembalikan ke Mesir selaku mediator.
Zionis akhirnya menyetujui syarat ini dan menjadi bukti kekalahan. Karena dalam kode etik pertempuran, mereka yang meminta untuk gencatan senjata adalah pihak yang kalah. Zionis pun mengibarkan bendera putih di depan ketegaran, ketabahan dan kesabaran rakyat Palestina di Jalur Gaza, dan juga dihadapan kegigihan para pejuangnya.
Kemenangan Kedua
Alih-alih ingin mengadu domba antar faksi yang ada di Palestina, yang terjadi justru sebaliknya. Hamas dan Fatah berangkulan, Fatah mendukung perjuangan bersenjata Hamas, dan Hamas mendukung perjuangan diplomasi yang dilakukan oleh Ketua Fatah dan juga Presiden Otoritas Palestina untuk mendapatkan status negara pengawas non anggota di PBB.
Paska kemenangan pejuang Palestina di Jalur Gaza dari agresi Zionis “Israel”, Kamis (29/11) bangsa Palestina kembali merayakan kemenangannya setelah diterima oleh PBB sebagai negara pengawas non anggota. Upaya yang digawangi oleh Presiden Otoritas Palestina, Mahmud Abbas sejak beberapa tahun belakangan ini di bawah tekanan “Israel”, Amerika dan sekutunya membuahkan hasil.
Pengangkatan status Palestina menjadi pengawas non anggota didapat melalui proses voting anggota PBB. Sebanyak 138 anggota Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui Palestina tidak lagi berstatus sebagai “entitas pengawas” melainkan menjadi negara pengawas non anggota. 9 negara menentang, 41 abstain, serta tiga negara tidak ikut serta dalam pemungutan suara ini. (reuters, 29/11/2012)
Solusi Dua Negara?
Kezaliman secara “legal” terjadi pada tahun 1947 melalui Resolusi PBB No 181 pada tanggal 29 November 1947. Dimana bangsa Palestina hanya diberikan 46% dari wilayahnya. Pada bulan Juni 1967 keluar keputusan dari PBB yang diantaranya mengatur tentang teritorial kedua belah pihak.
Wilayah Palestina 1967 merupakan teritorial yang ditolerir oleh Amerika dan sekutunya. Mereka menginginkan adanya solusi dua negara hidup berdampingan. Walau pada prakteknya “Israel” terus memperluas wilayah jajahannya, yang sampai saat ini hanya tersisa 22%  saja untuk Palestina.
Abbas mengatakan bahwa voting di PBB ini tidak bertujuan merusak keberadaan negara “Israel”. Karena sesuai dengan keputusan Dewan Nasional Palestina tahun 1988 tentang keberadaan Palestina dan “Israel” yang berdampingan. Dan juga sesuai dengan inisiatif damai negara Arab dari KTT Liga Arab di Beirut pada tahun 2002.
Yang jadi permasalahan adalah bagaimana solusi bagi para pengungsi Palestina yang saat ini tersebar di seluruh penjuru dunia yang jumlahnya lebih dari 5  juta jiwa? Mereka semua terusir dari tanah kelahirannya dan hidup dengan status tak jelas di negara yang menampungnya. Mereka semua berharap mendapatkan haknya untuk kembali ke kampung halaman yang kini masih dijajah oleh Zionis “Israel”.
Komitmen Hamas
PM. Palestina, Ismail Haniah mengatakan bahwa berhasilnya Palestina mendapatkan status negara pengawas non anggota di PBB tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan yang diraih oleh para pejuang Palestina di Jalur Gaza melalui perang Hijaratus Sijjil.
Haniah menegaskan bahwa pemerintahannya menyambut baik pengakuan ini di PBB namun dengan catatan, tetap konsisten memperjuangkan pembebasan tiap jengkal dari tanah Palestina tanpa terkecuali.
Pernyataan Haniah ini juga dipertegas oleh pejabat senior Hamas lainnya, diantaranya adalah Shalah Bardawil. Ia mengatakan, bahwa status yang didapat oleh Palestina di PBB pada tanggal 29 November 2012 kemarin merupakan hal yang wajar, karena Palestina sudah selama 64 tahun berada dalam penjajahan dan jutaan warganya kini menjadi pengungsi.
Yang ingin diingatkan Hamas adalah bahwa dukungan Hamas kepada langkah Abbas ke PBB ini adalah dukungan bersyarat dari Hamas, dimana ada prinsip-prinsip yang tidak boleh diubah sama sekali. Hamas dan pejuang Palestina lainnya yang sudah mati-matian dengan jiwa dan raganya mempertahankan Palestina dari penjajahan, tidak akan pernah mengalah ataupun mundur dari prinsip pembebasan tanah Palestina. Dimana prinsip inilah yang dijunjung tinggi oleh seluruh bangsa Palestina dimanapun mereka berada.
Pihak Hamas mengkritik keras sikap dunia internasional yang tidak adil dalam melihat permasalahan Palestina. Mereka membiarkan agresi militer Zionis ke Jalur Gaza dan melegalkan blokade “Israel” terhadap Jalur Gaza. Tidak memberikan persamaan hak terhadap bangsa Palestina dan justru mengakui eksistensi penjajah Zionis “Israel”.
Bagi Hamas, perjuangan melalui jalur diplomasi sah-sah saja selama itu dilakukan untuk kemaslahatan bangsa Palestina. Namun ada syarat mutlak yang tak boleh diubah, bahasa perlawanan terhadap penjajah tak bisa dihapus dari kata kunci perjuangan pembebasan Palestina. Tiap jengkal Palestina di mata Hamas harus kembali ke tangan pemiliknya.
Hamas juga menegaskan bahwa setujunya Hamas dengan berdirinya negara Palestina berdasarkan batas teritorial 1967 bukanlah sikap yang baru, itu sudah didengungkan Hamas sejak lama. Dan yang terpenting adalah, negara Palestina dengan batas 1967 bukanlah batas mutlak bagi Hamas, itu sifatnya sementara, karena tujuan perjuangannya adalah pembebasan seluruh tanah Palestina. Dan ini hanyalah strategi diplomasi saja bagi Hamas, bukan berarti Hamas sepakat dengan keinginan Abbas yang ingin mengakhiri penjajahan ini dengan damai dalam dua negara berdampingan.  Wallahuaa’lam bishowab

0 comments:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates